Awal tahun 2025 kembali diwarnai dengan kabar duka dari Ibu Kota. Banjir besar yang melanda sebagian wilayah Jakarta pada akhir Januari hingga Februari 2025 menjadi tragedi tahunan yang belum kunjung tuntas. Ribuan warga harus dievakuasi, akses transportasi terganggu, dan kerugian materi diperkirakan mencapai miliaran rupiah. Peristiwa ini kembali memantik desakan masyarakat dan pengamat kebijakan agar pemerintah mempercepat program normalisasi Sungai Ciliwung sebagai solusi permanen.
Banjir Parah, Warga Terjebak di Tengah Kota
Curah hujan ekstrem yang terjadi selama lebih dari 12 jam menyebabkan luapan air sungai di berbagai wilayah. Jakarta Selatan, Jakarta Timur, dan sebagian Jakarta Pusat terendam hingga 1,5 meter. Beberapa permukiman padat penduduk seperti di kawasan Kampung Melayu, Kalibata, dan Bidara Cina menjadi titik kritis banjir. Aktivitas warga lumpuh total, sekolah diliburkan, dan banyak kendaraan terjebak di ruas jalan utama.
BNPB menyatakan lebih dari 15.000 warga terdampak langsung, dan lebih dari 4.000 orang terpaksa mengungsi ke tempat penampungan sementara. Krisis air bersih, makanan, dan layanan kesehatan menjadi tantangan besar selama masa tanggap darurat.
Sungai Ciliwung: Sumber Masalah yang Berulang
Sungai Ciliwung, sebagai salah satu sungai utama yang melintasi jantung Jakarta, kembali menjadi sorotan. Sejak bertahun-tahun lalu, normalisasi sungai ini telah direncanakan melalui berbagai tahapan, mulai dari pelebaran, pengerukan, hingga penertiban bangunan liar di bantaran sungai. Namun hingga 2025, proyek ini berjalan lambat karena berbagai kendala: pembebasan lahan yang rumit, penolakan warga terdampak, hingga tumpang tindih kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah.
Dalam wawancara dengan media, pakar tata kota dari situs rajazeus terbaru Universitas Indonesia, Dr. Rian Mahendra, menyatakan, “ Tragedi Banjir Jakarta bukan semata karena hujan, tapi karena tata kelola sungai yang belum maksimal. Ciliwung adalah urat nadi air Jakarta. Kalau tidak ditangani serius, banjir akan terus berulang.”
Desakan dari Masyarakat dan Aktivis
Masyarakat sipil, LSM lingkungan, hingga warganet ramai-ramai menuntut percepatan penanganan Sungai Ciliwung. Tagar #NormalisasiSekarang dan #SelamatkanCiliwung sempat trending di media sosial sebagai bentuk tekanan publik terhadap pemerintah.
Salah satu warga Kampung Pulo yang rumahnya terendam banjir untuk ketiga kalinya dalam lima tahun terakhir mengungkapkan, “Kami lelah terus mengungsi. Pemerintah harus tegas membenahi sungai ini. Jangan hanya datang saat banjir.”
Pemerintah Merespons: Percepatan Tahap Lanjutan
Menanggapi krisis ini, Kementerian PUPR mengumumkan akan mempercepat proyek normalisasi Ciliwung sepanjang 17 km yang tersisa. Dalam konferensi pers, Menteri PUPR menegaskan bahwa proses pembebasan lahan yang sempat macet kini akan dibuka kembali melalui pendekatan kolaboratif bersama warga.
Selain itu, Pemprov DKI Jakarta berencana mengaktifkan lebih banyak sumur resapan, revitalisasi kanal Banjir Timur dan Banjir Barat, serta pembangunan tanggul-tanggul kecil di daerah rawan.
Namun beberapa pengamat mengingatkan bahwa solusi teknis saja tidak cukup. Edukasi warga tentang pentingnya menjaga kebersihan sungai dan pengelolaan sampah yang buruk juga menjadi akar masalah.
Banjir dan Krisis Iklim yang Meningkat
Fenomena banjir Jakarta tak bisa dilepaskan dari krisis iklim global. Perubahan pola curah hujan, kenaikan permukaan air laut, dan pesatnya urbanisasi membuat daya serap tanah menurun drastis. Kota-kota besar seperti Jakarta membutuhkan pendekatan sistemik yang berkelanjutan, bukan hanya proyek reaktif setelah bencana terjadi.
BACA JUGA: Krisis Air Bersih di Jawa Tengah: Solusi Teknologi dan Partisipasi Masyarakat